CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Sabtu, 09 Januari 2010

cadangan Indonesia

Purwokerto, Kompas - Untuk memperoleh cadangan minyak bumi baru, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral kini tengah melakukan studi dan eksplorasi terhadap 22 cekungan di wilayah Indonesia Timur dan lingkungan laut dalam. Upaya ini kian mendesak, mengingat ketersediaan minyak bumi nasional tinggal sembilan miliar barrel atau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kurang lebih tujuh tahun ke depan.

Demikian pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, yang dibacakan Staf Ahli Menteri ESDM Suryantoro dalam acara Seminar Nasional III dan Kongres I Organisasi Profesi Praktisi Akuntansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Baturaden, Jumat (12/12).

Dijelaskan, Indonesia memiliki 60 cekungan minyak bumi yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Dari jumlah itu, baru 23 persen atau 14 cekungan yang sudah dieksplorasi dalam 30 tahun terakhir. Akibatnya, cadangan minyak bumi di 14 cekungan terkuras habis dan tinggal tersisa sembilan miliar barrel. Dengan laju produksi minyak 1,3 juta barrel per hari, jumlah itu hanya mencukupi kebutuhan bahan bakar beberapa tahun ke depan.

Hal senada diungkapkan Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup sekaligus mantan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Lilik Hendrajaya. Ia mengatakan, tanda- tanda menipisnya cadangan minyak bumi nasional dapat dilihat dengan membandingkan volume ekspor dengan impor. Tahun 2003 ini impor minyak bumi melebihi kuota ekspor.

Hendrajaya menjelaskan, situasi krisis energi ini diperburuk dengan tak dipersiapkannya teknologi pengolah energi selain minyak bumi. Tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sudah sangat tinggi, padahal cadangan minyak kian menipis.

Terlena

Menteri ESDM mengatakan, selama ini bangsa Indonesia seperti terlena dengan gambaran kekayaan alam nasional. Kekayaan alam itu akhirnya tidak termanfaatkan sebaik-baiknya. Selain itu, bangsa Indonesia telah memberlakukan manajemen yang kurang tepat, seperti eksploitasi intensif dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak bumi, sehingga sumber energi lain terabaikan.

Padahal, di sektor energi, Indonesia dikenal sebagai penghasil batu bara, sumber panas bumi, minyak, dan gas bumi. Potensi batu bara mencapai 39 miliar ton dan baru termanfaatkan lima persen. Sumber panas bumi 20.000 MW baru termanfaatkan satu persen. Cadangan gas bumi sekitar 178,1 triliun kaki kubik. Ketiganya cadangan energi jangka panjang. (ANA)

Jumat, 08 Januari 2010

wireline logging

Pada saat ini harga minyak sedang membumbung tinggi, dan sempat menembus angka $130 yang merupakan harga tertinggi dalam sejarah industri perminyakan. Negara-negara pengekspor minyak menikmati windfall profit yang tidak sedikit, termasuk negara-negara yang tergabung dalam OPEC (kecuali Indonesia?). Demikian halnya dengan perusahaan-perusahaan minyak, dimana kondisi harga minyak yang tinggi ini membuat Exxon Mobil mampu muncul sebagai perusahaan yang menghasilkan akumulasi profit tertinggi (2000-2004) sebesar $88.1 milyar melampaui General Electric ($74.2 milyar). Cadangan minyak dunia terus menurun, dikarenakan temuan sumber-sumber minyak baru tidak seimbang dengan kebutuhan energi yang ada.
Negara adidaya seperti Amerika Serikat membutuhkan bahan bakar minyak sekitar 21 juta barrel per hari, ini lebih dari dua puluh kali lipat produksi minyak Indonesia sekarang, dan 60% kebutuhannya harus diimport dari luar Amerika. Ditambah lagi dengan China yang didorong oleh kemajuan ekonominya merubah negara ini semakin ‘rakus’ akan energi, serta India yang juga sedang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat. Kondisi politik dibeberapa negara penghasil minyak juga merupakan faktor pendorong naiknya harga minyak. Gejolak di Irak yang tidak kunjung reda ditambah dengan pertikaian antara Turki dengan orang-rang Kurdish di bagian barat-utara Irak , kondisi politik di Venezuela, masalah nuklir di Iran dan sengketa antar suku serta kegiatan bersenjata oleh para pemuda liar (area boys) didaerah penghasil minyak di Nigeria, memberikan kontribusi terhadap tingginya harga minyak saat ini. Lalu darimana sumber energi lainnya akan didapatkan? Berbicara tentang hidrogen sebagai sumber energi yang terbarukan masih membutuhkan waktu yang panjang.
Sekitar dua puluh tahun lagi menurut prediksi para ahli, hidrogen dapat menjadi sumber energi yang ekonomis setelah masalah-masalah teknis dasar mulai dari cara penyimpanannya hingga aspek keselamatan pemakaian energi hidrogen dapat teratasi. Jadi posisi minyak sebagai sumber energi utama masih belum dapat disingkirkan, yang diikuti oleh batu bara dan gas alam sebagai sumber energi. Awal Mula Evaluasi Formasi Kapan sebenarnya sumur minyak mulai digali? Dari catatan yang ada disebutkan bahwa di China (sekitar tahun 347 SM) sumur minyak digali sampai ke dalaman 800 kaki dengan menggunakan bambu yang ujungnya dipasang mata bor. Marco Polo ketika dalam perjalanannya tahun 1264 mencatat bahwa orang di Baku, Azerbaijan telah menggunakan minyak dari dalam tanah sebagai penerangan ketika orang di Eropa masih menggunakan minyak dari ikan paus.

sifat-sifat fisik fluida reservoir

Kelakuan sifat-sifat fisik fluida reservoir diperlukan untuk evaluasi kinerja reservoir. Sifat fisik fluida reservoir minyak dapat diperoleh dari pengolahan data hasil percobaan di laboratorium, atau apabila data tersebut tidak tersedia, dapat dilakukan penentuannya dengan metoda korelasi. Sifat-sifat fisik fluida reservoir minyak yang dimaksud antara lain : TEKANAN GELEMBUNG/TEKANAN SATURASI (pb) Tekanan gelembung didefinisikan sebagai tekanan di mana saat pertama kali terjadi gelembung gas ke luar dari fasa minyak. Penentuan tekanan gelembung dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa contoh metode yang digunakan antara lain :
a. Percobaan di laboratorium dengan menggunakan sampel dari lapangan dengan menggunakan metode Flash Liberation (gambar 1) atau Differential Liberation (gambar 2). Prinsip dari kedua metode diatas adalah dengan mengukur tekanan pada saat fluida mengeluarkan gelembung pertama kali pada saat tekanannya diturunkan.
b. Dengan menggunakan korelasi, misalnya korelasi Standing yang mempunyai persamaan:

well services

A. Well Service / Well Work Well Service merupakan suatu bagian yang bertugas menangani segala kegiatan yang berhubungan dengan sumur. Kegiatan tersebut meliputi usaha agar sumur siap berproduksi (initial completion) maupun usaha perbaikan sumur akibat kerusakan saat berproduksi (Work Over). Semua kegiatan yang dilakukan oleh team ini bertujuan untuk mempertahankan serta meningkatkan laju produksi sumur. Well Service dibagi dalam beberapa bagian yaitu : 1. Tool House adalah bagian yang bertugas dalam menyediakan dan memelihara segala peralatan sehingga dapat selalu siap pakai. 2. Operation adalah bagian yang melaksanakan pemasangan artificial lift serta memperbaiki kerusakan yang ada pada sumur-sumur. 3. Transport Well Service adalah bagian yang memperlancar pekerjaan well service dengan selalu menyediakan transport untuk mengantarkan segala peralatan yang dibutuhkan saat melakukan service terhadapsumur. Pekerjaan yang dilakukan oleh divisi ini dibagi dalam empat kelompok kerja yaitu : initial completion, sevice, work over dan equipment maintanance. a. Initial Completion Initial Completion merupakan pekerjaan awal dari suatu sumur baru yang dilakukan setelah pengeboran yaitu dengan cara melengkapi sumur dengan segala peralatan sehingga sumur dapat mulai berproduksi

Artificial Lift dengan HPU (Hydraulic Pumping Unit)

Hydraulic Pumping Unit (HPU) merupakan salah satu jenis dari sucker rod pump. Sucker rod pump digunakan sebagai salah satu alternatif sistem artificial lift. Penggunaan pompa ini dilakukan jika tidak tersedianya gas yang cukup di lapangan, sehingga sistem gas lift tidak dapat diterapkan. Keuntungan menggunakan HPU adalah sebagai berikut: 1. HPU lebih mudah untuk dipindahkan dan dipasang dari satu sumur ke sumur lain karena tidak memerlukan pondasi, dan teknis penyetelannya sederhana. 2. Perubahan SPM (Stroke per Minute) dan panjang langkah (Stroke Length) lebih mudah. Dalam mengubah SPM tidak perlu mengganti pulley dan dalam penentuan stroke length tidak menggunakan alat berat untuk menggeser crank pin seperti pada pompa angguk. 3. Optimasi sumur dengan alat HPU dapat dilakukan secara tepat dan mudah dengan mengubah parameter kecepatan dan langkah pompa yang dapat dilakukan setiap saat dengan waktu yang lebih cepat, sehingga kehilangan produksi dapat diminimalkan. 4. Pengaturan langkah HPU lebih mudah karena tinggal mengubah setting hidrolik. 5. Pemakaian energi listrik lebih hemat dibandingkan pompa angguk. 6. Kehilangan produksi akan lebih dapat diminimalkan apabila pemasangan, pemindahan, dan pengaturan dapat dilakukan dengan lebih cepat. 7. Mengurangi resiko kebocoran stuffing box karena penempatan hydraulic jack lebih center. 8. Biaya sewa lebih murah dibandingkan pompa angguk. Kerugian menggunakan HPU adalah sebagai berikut: 1. Tidak cocok untuk produksi besar (Q HPU bpd). 2. Kedalaman sumur terbatas (kedalaman pompa kurang dari 1000 ft) Selengkapnya download di sini Spesifikasinya download di sini

sistem pencegahan BOP

1. PENDAHULUAN
Fungsi utama dari sistem pencegahan semburan liar (BOP System) adalah untuk menutup lubang bor ketika terjadi “kick”. Blowout terjadi karena masuknya aliran fluida formasi yang tak terkendalikan ke permukaan. Blowout biasanya diawali dengan adanya “kick” yang merupakan suatu intrusi fluida formasi bertekanan tinggi kedalam lubang bor. Intrusi ini dapat berkembang menjadi blowout bila tidak segera diatasi. Rangkaian peralatan sistem pencegahan semburan liar (BOP System) terdiri dari dua sub komponen utama yaitu Rangkaian BOP Stack, Accumulator dan Sistem Penunjang.
1. Rangkaian BOP Stack.
Rangkaian BOP Stack ditempatkan pada kepala casing atau kepala sumur langsung dibawah rotary table pada lantai bor. Rangkaian BOP Stack terdiri dari peralatan sebagai berikut :
• Annular Preventer. Ditempat paling atas dari susunan BOP Stack. Annular preventer berisi rubber packing element yang dapat menutup lubang annulus baik lubang dalam keadaan kosong ataupun ada rangkaian pipa bor
.
• Ram Preventer. Ram preventer hanya dapat menutup lubang annulus untuk ukuran pipa tertentu, atau pada keadaan tidak ada pipa bor dalam lubang. Jenis ram preventer yang biasanya digunakan antara lain adalah :
1. Pipe ram Pipe ram digunakan untuk menutup lubang bor pada waktu rangkaian pipa borberada pada lubang bor.
2. Blind or Blank Rams Peralatan tersebut digunakan untuk menutup lubang bor pada waktu rangkaian pipa bor tidak berada pada lubang bor.
3. Shear Rams Shear rams digunakan untuk memotong drill pipe dan seal sehingga lubang bor kosong ( open hole ), digunakan terutama pada offshore floating rigs.
• Drilling Spools. Drilling spolls adalah terletak diantara preventer. Drilling spools berfungsi sebagai tempat pemasangan choke line ( yang mengsirkulasikan “kick” keluar dari lubang bor ) dan kill line ( yang memompakan lumpur berat ). Ram preventer pada sisa-sisanya mempunyai “cutlets” yang digunakan untuk maksud yang sama.
• Casing Head ( Well Head ). Merupakan alat tambahan pada bagian atas casing yang berfungsi sebagai fondasi BOP Stack.

pemeliharaan pompa pompa di rig pemboran

Pompa lumpur adalah suatu alat untuk memompakan cairan dengan mengubahtenaga mekanis menjadi tenaga hidrolis. Fungsinya untuk memberikan dayahidrolis berupa tekanan dan volume aliran/debit lumpur, dengan mengalirkanlumpur dari tangki melalui manifold stand pipe masuk ke drill string, menuju kenozzle pahat dengan mengefektifkan jet velosity-nya. Kemudian dengan tekananyang dihasilkan oleh pompa lumpur, cairan pemboran akan membawa serbuk bordari dasar lubang menuju permukaan melalui annulus. Sedangkan prinsip kerja pompa triplex single acting itu sendiri adalahdengan satu kali gerakan bolak-balik akan menghasilkan satu kali kerja. Dimanapada saat piston bergerak ke belakang terjadi langkah pengisapan sehingga liner terisi oleh cairan. Karena pompa triplex bekerja cepat maka pengisian liner dilakukan oleh pompa centrifugal sebagai super charging-nya. Sedangkan padasaat piston bergerak ke depan, maka terjadi langkah penekanan (discharge)sehingga volum cairan yang ada di salam liner terdorong keluar menuju dischargemanifold. Selengkapnya download di sini

decline curve

DECLINE CURVE
1. UJI PRODUKSI
Uji produksi dilakukan untuk mengetahui kemampuan produksi dan karakteristik sumur, salah satunya dengan metode back pressure. Back pressure merupakan salah satu metode uji produksi dengan memberi tekanan balik (back pressure) yang berbeda beda. Pelaksanaannya dari tes konvensional dimulai dengan menstabilkan tekanan reservoir dengan cara menutup sumur lalu tentukan harga Pr (tekanan reservoir). Selanjutnya sumur dibiarkan berproduksi dengan laju produksi yang diubah ubah minimal 3x. Pengubahan laju produksi dilakukan setelah tekanan stabil. Setiap pergantian laju produksi tidak didahului dengan penutupan sumur. Persamaan dasar untuk menentukan kemampuan sumur yaitu dengan menggunakan persamaan Fetkovich yaitu :
M = C(Pr^2 – Pwf^2)^n
M : laju produksi, kg/s Pr : tekanan reservoir rata rata, ksc Pwf : tekanan aliran dasar sumur, ksc C : konstanta dengan satuan yg bergantung pada q dan P n : derajat pengaruh factor inersia turbulence aliran, 0.5 ≤ n ≤ 1, Pada sumur panas bumi tekanan dasar sumur dapat diestimasi oleh ukuran tekanan kepala sumur yang stabil (Pwh) sehingga persamaan (1) dapat ditulis dengan : M = C(Pr^2 – Pwh^2)^n (2) Jika maka hubunganantara M dan pada kondisi aliran stabil berdasarkan persamaan persamaan (2) dalam menentukan kemampuan sumur adalah : M = C (?P^2)^n Log M = Log C + n Log (?P^2) (3)
2. DECLINE CURVE ANALYSIS
Decline Curve Analysis digunakan untuk estimasi perhitungan cadangan yang dapat diamati dari suatu lapangan yang mencerminkan tingkat keekonomian dari lapangan tersebut dan memprediksi kinerja produksi suatu lapangan berdasarkan data yang ada. Perhitungan decline curve didasarkan pada penurunan laju produksi di masa mendatang. Dengan menggunakan asumsi bahwa laju produksi secara kontinu mengikuti trend yang sudah ada, maka besarnya cadangan panas bumi akan dapat diperkirakan dari model trend yang telah dibuat.. Persamaan decline curve merupakan persamaan yang dikembangkan oleh Arps, (Ashtat, 2000) yaitu : q(t) = qo / (1 + nDt)^-1/n (4) q(t) = laju produksi panas bumi pada saat t qo = laju produksi panas bumi awal, t = 0 n = konstanta Arps (dari laju produksi standard) D = Decline rate awal dimana n = 0 untuk fungsi eksponential dan n = 1 untuk fungsi harmonik. Persamaan (4) digunakan dengan asumsi : 1. sumur diproduksi pada kondisi tekanan bawah sumur konstan 2. tidak ada perubahan area pengurasan 3. permeabilitas dan skin factor konstan Pandang persamaan (4) , jika n = 0 pada kondisi apapun, maka : q(t) = qo e^Dt (5) Ln q(t) = ln (qo) - Dt (6) Korelasikan hasil persamaan (6) terhadap waktu (t) kemudian diplot sehingga diperoleh ln (qo) = titik potong grafik dengan waktu dan D = -(kemiringan grafik dengan ln (mass flow normalisasi)). Prosedur kerja pengolahan data Ambil C dan n dari hasil perhitungan n uji produksi; dan data laju alir massa (M) dan tekanan alir kepala sumur P¬wh yang diperoleh setiap hari. Akan dihitung tekanan dalam reservoir (Pr) dengan menggunakan persamaan : Pr = √(M/C)^1/n + Pwh^2 (7) Hitung laju alir normalisasi setiap harinya denganmenggunakan tekanan aliran dasar sumur pada kondisi stabil, Pwh = 15, sehingga : q(t) = C [Pr^2 – 15^2]^n (8) Persamaan di atas dapat dilinierkan kemudian hasilnya yaitu ln(M) korelasikan dengan waktu sehingga didapat ln(M) = titik potong grafik dengan waktu, dimana M = exp ln(M) (9) Langkah perhitungan : Diketahui n, C, Pwh initial dari hasil pengukuran. Akan dihitung D dan qo 1. Hitung Pr dengan menggunakan persamaan Pr = √(M/C)^1/n + Pwh^2 dengan M diperoleh dari data mass flow setiap harinya. 2. Hitung Mnorm, Mnorm = C (Pr^2 – 15^2)^n untuk setiap t 3. Hitung ln Mnorm, korelasikan dengan t sehingga diperoleh bentuk persamaan : y = αt + ? y = ln q(t) ; α = D ; ?= ln qo

600 sumur minyak tua masih berpatensi

PALEMBANG – Dinas Pertambangan dan Pengembangan Energi (Distamben) Provinsi Sumsel menyatakan, sedikitnya terdapat 600 lebih sumur tua di Sumsel yang masih berpotensi dan masih memungkinkan untuk dieksploitasi.Dari jumlah itu, sumur minyak tua paling banyak di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Kepala Distamben Provinsi Sumsel Akhmad Bahtiar Amin mengatakan, pihaknya belum bisa mendata sumur tua ilegal yang dilakukan eksploitasi secara liar. Sebab, pihaknya sendiri mengalami kesulitan mendata karena setiap penertiban dilakukan, para penambang liar sudah lebih dulu kabur. “Dalam pengelolaan sumur tua ini,pemprov berencana mengeluarkan peraturan daerah (perda). Namun, sebelumnya segera dikeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Sumsel. Peraturan menteri (permen) sudah ada, yakni sumur minyak tua bisa diusahakan melalui KUD dan BUMD,”ujar Akhmad. Namun,menurut Akhmad,kendala yang dialami KUD saat ini yakni dari segi permodalan.Selain itu, ada syarat teknis kalau mau mengusahakan sumur tua yang harus dipenuhi. Jika ada KUD minta izin dan blok beberapa sumur, perlu pembinaan terlebih dahulu. Selain itu,pihak KUD harus dicarikan partner supaya bisa diarahkan dan tidak menyalahi kaidah-kaidah yang berlaku dalam bidang perminyakan.Kendati demikian,dengan pergub yang dikeluarkan nanti, akan diinventarisasi KUD yang mana saja yang memenuhi syarat. “KUD itu akan kita bina, dan dicarikan partner.Semuanya diatur dengan peraturan, mudah-mudahan jika hal itu jalan datangkan pendapatan bagi KUD,”kata Akhmad. Dia menambahkan, sejauh ini usia sejumlah sumur minyak tua belum bisa diprediksi karena harus didapatkan dulu data eksplorasinya. Bahkan, meski umumnya sumur minyak tua sudah dieksplorasi sejak 1970-an, biasanya KUD dan BUMD yang akan mengusahakan sumur minyak tua akan menghitung lagi potensi kandungan sumur. Selanjutnya, debit itu akan dibagi dengan rencana produksi per tahunnya. Sementara itu,Wakil Gubernur Sumsel H Eddy Yusuf menuturkan, dalam hal pengelolaan sumur tua mesti disiapkan penyertaan modal oleh BUMD seperti yang tertuang dalam APBD.Pasalnya,BUMD dan koperasi sangat potensial mengeksplorasi sumur tua agar tidak dibiarkan terbengkalai. Sebelumnya, Kepala Perwakilan BP Migas Sumbagsel Eko Hariadi mengatakan, potensi sumur tua masih cukup banyak,dan diperkirakan masih bisa diambil hingga 5.000 barel per hari. Bahkan, bila dikelola dengan baik,maka dapat menciptakan perekonomian suatu daerah.Apalagi, pengelolaan sumur tua juga telah diatur Permen ESDM No 1/2008 dan telah ada petunjuk teknis, termasuk prosedur dan tata caranya. Sumber : berita-muba

sistem pemboran lepas pantai

1. TEORI DASAR
Sistem peralatan pemboran lepas pantai pada prinsipnya adalah merupakan perkembangan dari sistem peralatan pemboran darat, maka metode operasi lepas pantai membutuhkan teknologi yang baru dan biaya operasi yang mahal, karena kondisi lingkungan laut berbeda dengan kondisi lingkungan darat. Peralatan mutlak yang harus ada dalam operasi pemboran lepas pantai adalah sebuah strutur anjungan (platform) sebagai tempat untuk meletakkan peralatan pemboran dan produksi. Berbagai macam anjungan telah dibuat, seperti anjungan permanen (fixed) yang terdiri diatas kaki-kaki beton bertulang. Jenis ini umumnya digunakan pada laut dangkal dan pada lapangan pengembangan sehingga dapat sekaligus menjadi anjungan pemboran dan produksi. Berbagai hambatan alam yang harus diatasi bagi pengoperasian unit lepas pantai. Hambatan tersebut antara lain : angin, ombak, arus dan badai. Khusus untuk unit terapung yang amat peka terhadap pengaruh kondisi laut, maka menciptakan peralatan khusus, yaitu peralatan peredam gerak oscilsi vertikal akibat ombak dan peralatan pengendalian posisi pada unit terapung. Untuk pengendalian posisi pada unit terapung dikenal dengan mooring system dan sistem pengendalian posisi dinamik . Sedangkan untuk mengatasi gerak vertikal keatas dan kebawah umumnya digunakan Drill String Compensator (DSC). Operasi pemboran lepas pantai dimulai dari pengembangan teknologi pemboran darat dengan menggunakan casing conduktor yang ditanam atau dibor dan disemen, kemudian meningkat dengan digunakan mud-line suspention system, dan terus meningkat dengan menggunakan riser system. Penggunaan BOP konventional terus dimodifikasi agar mampu beroperasi di bawah air. Kondisi lingkungan laut berpengaruh terhadap pemilihan jenis platform.
2. PERALATAN PEMBORAN LEPAS PANTAI
2.1. ANJUNGAN Jenis platform secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu Fixed platform dan Mobile platform.

undang-undang migas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
a. bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
d. bahwa Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi;
e. bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas bumi, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat
  1. Pasal 5 ayat (1); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.

[sunting] BAB I - KETENTUAN UMUM

[sunting] Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

  1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
  2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;
  3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
  4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi;
  5. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi;
  6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja;
  7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;
  8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;
  9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
  10. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;
  11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
  12. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi;
  13. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
  14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa;
  15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia;
  16. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi;
  17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia;
  19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
  20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;
  21. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
  22. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;
  23. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi;
  24. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir;
  25. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

[sunting] BAB II - AZAS DAN TUJUAN

[sunting] Pasal 2

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang ini berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.

[sunting] Pasal 3

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan :

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;
c. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;
f. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

[sunting] BAB III - PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN

[sunting] Pasal 4

(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.

(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.

[sunting] Pasal 5

Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas : 1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :

a. Eksplorasi; b. Eksploitasi.

2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :

a. Pengolahan; b. Pengangkutan; c. Penyimpanan; d. Niaga.

[sunting] Pasal 6

(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.

(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan : a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

[sunting] Pasal 7

(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 dilaksanakan dengan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20.

(2) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

[sunting] Pasal 8

(1) Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.

(4) Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.

[sunting] Pasal 9

(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh

a. badan usaha milik negara; b. badan usaha milik daerah; c. koperasi; usaha kecil; d. badan usaha swasta.

(2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.

[sunting] Pasal 10

(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir.

(2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.


[sunting] BAB IV - KEGIATAN USAHA HULU

[sunting] Pasal 11

(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.

(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : a. penerimaan negara; b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya; c. kewajiban pengeluaran dana; d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi; e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; f. penyelesaian perselisihan; g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri; h. berakhirnya kontrak; i. kewajiban pascaoperasi pertambangan; j. keselamatan dan kesehatan kerja; k. pengelolaan lingkungan hidup; l. pengalihan hak dan kewajiban; m. pelaporan yang diperlukan; n. rencana pengembangan lapangan; o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

[sunting] Pasal 12

(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.

(2) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

(3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

[sunting] Pasal 13

(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja.

(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.

[sunting] Pasal 14

(1) Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.

[sunting] Pasal 15

(1) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas jangka waktu Eksplorasi dan jangka waktu Eksploitasi.

(2) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 6 (enam) tahun dan dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4 (empat) tahun.

[sunting] Pasal 16

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri.

[sunting] Pasal 17

Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri.

[sunting] Pasal 18

Pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

[sunting] Pasal 19

(1) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.

(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] Pasal 20

(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah.

(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.

(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.

(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku selama jangka waktu yang ditentukan.

(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.

(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] Pasal 21

(1) Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja wajib mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.

(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.

(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] Pasal 22

(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] BAB V - KEGIATAN USAHA HILIR

[sunting] Pasal 23

(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.

(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas : a. Izin Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga.

(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[sunting] Pasal 24

(1) Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling sedikit memuat : a. nama penyelenggara; b. jenis usaha yang diberikan; c. kewajiban dalam penyelenggaraan pengusahaan; d. syarat-syarat teknis.

(2) Setiap Izin Usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya.

[sunting] Pasal 25

(1) Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan, atau mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan : a. pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin Usaha; b. pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha; c. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.

(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.

[sunting] Pasal 26

Terhadap kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

[sunting] Pasal 27

(1) Menteri menetapkan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional.

(2) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan ruas Pengangkutan tertentu.

(3) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan wilayah Niaga tertentu.

[sunting] Pasal 28

(1) Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

[sunting] Pasal 29

(1) Pada wilayah yang mengalami kelangkaan Bahan Bakar Minyak dan pada daerah-daerah terpencil, fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya, dapat dimanfaatkan bersama pihak lain.

(2) Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.

[sunting] Pasal 30

Ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


[sunting] BAB VI - PENERIMAAN NEGARA

[sunting] Pasal 31

(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(2) Penerimaan negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas : a. pajak-pajak; b. bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; c. pajak daerah dan retribusi daerah.

(3) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas : a. bagian negara; b. pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi; c. bonus-bonus.

(4) Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan : a. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.


(5) Ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), serta tata cara penyetorannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(6) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[sunting] Pasal 32

Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib membayar pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


[sunting] BAB VII

HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN HAK ATAS TANAH

[sunting] Pasal 33

(1) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia.

(2) Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.

(3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada :

a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat; b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya; c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara; d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.

(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi Pemerintah yang berwenang.

[sunting] Pasal 34

(1) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.

[sunting] Pasal 35

Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk melaksanakan Eksplorasi dan Eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila : a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan Kontrak Kerja Sama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

[sunting] Pasal 36

(1) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.

(2) Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, maka bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi, dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.

[sunting] Pasal 37

Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] BAB VIII - PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 38

Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilakukan oleh Pemerintah.

Pasal 39

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 meliputi : a. penyelenggaraan urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; b. penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.

(2) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara cermat, transparan, dan adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 40

(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik.

(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.

(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing.

(5) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat .

(6) Ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 41

(1) Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait.

(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.

(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan oleh Badan Pengatur.

Pasal 42

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi : a. konservasi sumber daya dan cadangan Minyak dan Gas Bumi; b. pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi; c. penerapan kaidah keteknikan yang baik; d. jenis dan mutu hasil olahan Minyak dan Gas Bumi; e. alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku; f. keselamatan dan kesehatan kerja; g. pengelolaan lingkungan hidup; h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; i. penggunaan tenaga kerja asing; j. pengembangan tenaga kerja Indonesia; k. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; l. l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Minyak dan Gas Bumi; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum.

Pasal 43

Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, dan Pasal 42 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] BAB IX

BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR

Pasal 44

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).

(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Pasal 45

(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.

(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.

(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 46

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).

(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.

(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai : a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.

(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 47

(1) Struktur Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas komite dan bidang.

(2) Komite sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota, yang berasal dari tenaga profesional.

(3) Ketua dan anggota Komite Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(4) Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) bertanggung jawab kepada Presiden.

(5) Pembentukan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 48

(1) Anggaran biaya operasional Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 didasarkan pada imbalan (fee) dari Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Anggaran biaya operasional Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan iuran dari Badan Usaha yang diaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 49

Ketentuan mengenai struktur organisasi, status, fungsi, tugas, personalia, wewenang dan tanggung jawab serta mekanisme kerja Badan Pelaksana dan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

[sunting] BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 50

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; c. Minyak dan Gas Bumi; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.

(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[sunting] BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 51

(1) Setiap orang yang melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tanpa hak dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang mengirim atau menyerahkan atau memindahtangankan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apa pun dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 52

Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Pasal 53

Setiap orang yang melakukan : a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah); c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah); d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Pasal 54

Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Pasal 55

Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Pasal 56

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam == Bab ini == dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya.

(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.

Pasal 57

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 adalah pelanggaran.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 adalah kejahatan.

Pasal 58

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam == Bab ini, sebagai == pidana tambahan adalah pencabutan hak atau perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

[sunting] BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 59

Pada saat Undang-undang ini berlaku : a. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pelaksana; b. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pengatur.

Pasal 60

Pada saat Undang-undang ini berlaku : a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah; b. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan; c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan.

Pasal 61

Pada saat Undang-undang ini berlaku : a. Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan Pelaksana; b. pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.

Pasal 62

Pada saat Undang-undang ini berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 63

Pada saat Undang-undang ini berlaku : a. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana; b. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana; c. semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan; d. hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut; e. pelaksanaan perundingan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri.

Pasal 64

Pada saat Undang-undang ini berlaku : a. badan usaha milik negara, selain Pertamina, yang mempunyai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dianggap telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; b. pelaksanaan pembangunan yang pada saat Undang-undang ini berlaku sedang dilakukan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dilaksanakan oleh badan usaha milik negara yang bersangkutan; c. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib membentuk Badan Usaha yang didirikan untuk kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; d. kontrak atau perjanjian antara badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a dan pihak lain tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu kontrak atau perjanjian yang bersangkutan.

[sunting] BAB XIII

KETENTUAN LAIN

Pasal 65

Kegiatan usaha atas minyak atau gas selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang lain, diberlakukan ketentuan Undang-undang ini.

[sunting] BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku : a. Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070); b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2505); c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 3045).

(2) Segala peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 67

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOM

energi panas bumi indonesia

Jawa Barat memiliki potensi sumber daya alarn panas bumi yang luar biasa besar dan merupakan yang terbesar di Indonesia. Potensi panas bumi di Jawa Barat mencapai 5411 MW atau 20% dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Sebagian potensi panas bumi tersebut bahkan telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik seperti:
  • PI-TP Kamojang di dekat Garut, memiliki unit 1, 2, 3 dengan kapasitas total 140 MW. Potensi yang masih dapat dikembangkan sekitar 60 MW.
  • PLTP Darajat, 60 km sebelah tenggara Bandung dengan kapasitas 55 MW
  • PLTP Gunung Safak di Sukabumi, terdiri dari unit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dengan kapasitas total 330 M1K
  • PI-TP Wayang Windu di Pangalengan dengan kapasitas 110 MW.

Pemanfaatan energi panas bumi memang tidak mudah. Energi panas bumi yang umumnya berada di kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah sulit ditebak keberadaan dan "karakternya". Investasi untuk menggali energi panas bumi tidak sedikit karena tergolong berteknologi dan berisiko tinggi. Investasi untuk kapasitas di bawah satu MW, berkisar US$ 3.000-5.000 per kilowatt (kW). Sementara untuk kapasitas di atas satu MW, diperlukan investasi US$ 1.500-2.500 per kW. Tantangan selanjutnya adalah akibat sifat panas yang "site specific" kondisi geologis setempat. Karakter produksi dan kualitas produksi akan berbeda dari satu area ke area yang lain. Penurunan produksi yang cepat, sebagai contoh, merupakan karakter produksi yang harus ditanggung oleh pengusaha atau pengembang, ditambah kualitas produksi yang kurang baik, dapat menimbulkan banyak masalah di pembangkit. Misainya, kandungan gas yang tinggi mengakibatkan investasi lebih besar di hilir atau pembangkitnya.

Dalam pembangkitan listrik, harga jual per kWh yang ditetapkan PLN dinilai terialu murah sehingga tak sebanding dengan biaya eksplorasi dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dalam hat ini, PLN tidak bisa disalahkan karena tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah masih di bawah harga komersial, yaitu tuluh sen dollar AS per kWh.

Di sisi lain, adanya potensi panas bumi di suatu daerah biasanya di pegunungan dan terpencil-sering tak bisa dimanfaatkan karena kebutuhan listrik di daerah itu sedikit sehingga belum ekonomis untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan energi panas bumi tersebut.

pemanfaatan energi panas bumi

Sebelum abad keduapuluh, fluida panas bumi (geothermal) hanya digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Dewasa ini pemanfaatan fluida panas bumi sangat beraneka ragam, baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan lainnya di sektor non-listrik, yaitu untuk pemanas ruangan, rumah kaca, tanah pertanian, pengering hasil pertanian dan peternakan, pengering kayu dll.

Pemanfaatan energi panas bumi secara umum dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu pemanfaatan tidak langsung dan pemanfaatan langsung. Pemanfaatan tidak langsung yaitu memanfaatkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Sedangkan pemanfaatan langsung yaitu memanfaatkan secara langsung panas yang terkandung pada fluida panas bumi untuk berbagai keperluan.



Fluida panas bumi yang telah dikeluarkan ke permukaan bumi mengandung energi panas yang akan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Hal ini dimungkinkan oleh suatu sistem konversi energi fluida panas bumi (geothermal power cycle) yang mengubah energi panas dari fluida menjadi energi listrik.

Fluida panas bumi bertemperatur tinggi (>225 oC) telah lama digunakan di beberapa negara untuk pembangkit listrik, namun beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi telah memungkinkan digunakannya fluida panas bumi bertemperatur sedang (150-225 oC) untuk pembangkit listrik.

Selain temperatur, faktor-faktor lain yang biasanya dipertimbangkan dalam memutuskan apakah suatu sumberdaya panas bumi tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik adalah sebagai berikut:

  • Sumberdaya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar sehingga mampu memproduksi uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 25-30 tahun.
  • Sumberdaya panas bumi menghasilkan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala yang relatif rendah.
  • Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km.
  • Sumberdaya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai.
  • Sumberdaya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal yang relatif rendah. Proses produksi fluida panas bumi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.

Energi panas bumi yang relatif tidak menimbulkan polusi dan terdapat menyebar di seluruh kepulauan Indonesia (kecuali Kalimantan) sesungguhnya merupakan salah satu energi yang tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik di masa yang akan datang untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan listrik nasional yang cenderung terus meningkat.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi. Apabila fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik. Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua fasa (fasa uap dan fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal ini dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap akan terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang kemudian dialirkan ke turbin.

Untuk kandungan panas atau cadangan yang relatif kecil, namun mempunyai suhu yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik, bisa digunakan untuk pembangkit listrik berskala kecil dengan kapasitas terpasang antara 1-5 MW. Di beberapa tempat pembangkit dibangun dengan kapasitas kecil, seperti di Fang Thailand yang berkapasitas 300 kW.

Hotel Internasional Kirishima di Jepang termasuk unik dalam memanfaatkan tenaga panas bumi, selain untuk pemandian uap, hotel ini juga memiliki pembangkit tenaga panas bumi skala kecil (100kW) yang dibangun pada tahun 1983 dan masih digunakan sampai sekarang. Hotel ini juga menggunakan uap dari sumur panas bumi untuk pemanas dan penyejuk ruangan.

Pada dasarnya pembangkit tenaga panas bumi dapat di bangun mengikuti permintaan beban listrik. Pembangkit tenaga kecil biasanya dibangun menggunakan pendekatan modular yang dapat mengurangi biaya konstruksi dan dapat ditempatkan dekat ke sumur sehingga keseluruhan proyek mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Pembangkit tenaga kecil telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan penggunaan tenaga panas bumi. Kunci sukses pembangkit tenaga panas bumi skala kecil adalah tidak membangun pembangkit yang kapasitasnya melebihi permintaan, dan selalu mencari kemungkinan penyatuan sistem pemanfaatan langsung air panas untuk memperbaiki perekonomian perusahaan pembangkit dan juga masyarakat setempat.

panas bumi (geothermal)



Energi Geo (Bumi) thermal (panas) berarti memanfaatkan panas dari dalam bumi. Inti planet kita sangat panas- estimasi saat ini adalah,500 celcius (9,932 F)- jadi tidak mengherankan jika tiga meter teratas permukaan bumi tetap konstan mendekati 10-16 Celcius (50-60 F) setiap tahun. Berkat berbagai macam proses geologi, pada beberapa tempat temperatur yang lebih tinggi dapat ditemukan di beberapa tempat.




Menempatkan panas untuk bekerja


Dimana sumber air panas geothermal dekat permukaan, air panas itu dapat langsung dipipakan ke tempat yang membutuhkan panas. Ini adalah salah satu cara geothermal digunakan untuk air panas, menghangatkan rumah, untuk menghangatkan rumah kaca dan bahkan mencairkan salju di jalan.


Bahkan di tempat dimana penyimpanan panas bumi tidak mudah diakses, pompa pemanas tanah dapat membahwa kehangatan ke permukaan dan kedalam gedung. Cara ini bekerja dimana saja karena temparatur di bawah tanah tetap konstan selama tahunan. Sistem yang sama dapat digunakan untuk menghangatkan gedung di musim dingin dan mendinginkan gedung di musim panas.



Pembangkit listrik


Pembangkit Listrik tenaga geothermal menggunakan sumur dengan kedalaman sampai 1.5 KM atau lebih untuk mencapai cadangan panas bumi yang sangat panas. Beberapa pembangkit listrik ini menggunakan panas dari cadangan untuk secara langsung menggerakan turbin. Yang lainnya memompa air panas bertekanan tinggi ke dalam tangki bertekanan rendah. Hal ini menyebabkan “kilatan panas” yang digunakan untuk menjalankan generator turbin. Pembangkit listrik paling baru menggunakan air panas dari tanah untuk memanaskan cairan lain, seperti isobutene, yang dipanaskan pada temperatur rendah yang lebih rendah dari air. Ketika cairan ini menguap dan mengembang, maka cairan ini akan menggerakan turbin generator.



Keuntungan Tenaga Panas Bumi


Pembangkit listrik tenaga Panas Bumi hampir tidak menimpulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Tenaga ini juga tidak berisik dan dapat diandalkan. Pembangkit listik tenaga geothermal menghasilkan listrik sekitar 90%, dibandingkan 65-75 persen pembangkit listrik berbahan bakar fosil.


Sayangnya, bahkan di banyak negara dengan cadangan panas bumi melimpah, sumber energi terbarukan yang telah terbukti ini tidak dimanfaatkan secara besar-besaran.

Kamis, 07 Januari 2010

pemboran eksplorasi

  1. PEMBORAN EKSPLORASI

Apabila dari data geologi, data geokimia, dan data geofisika yang diperoleh dari hasil survey rinci menunjukkan bahwa di daerah yang diselidiki terdapat sumberdaya panasbumi yang ekonomis untuk dikembangkan, maka tahap selanjutnya adalah tahap pemboran sumur eksplorasi. Tujuan dari pemboran sumur eksplorasi ini adalah membuktikan adanya sumberdaya panasbumi di daerah yang diselidiki dan menguji model system panasbumi yang dibuat berdasarkan data-data hasil survei rinci.

Jumlah sumur eksplorasi tergantung dari besarnya luas daerah yang diduga mengandung energi panasbumi. Biasanya di dalam satu prospek dibor 3 – 5 sumur eksplorasi. Kedalaman sumur tergantung dari kedalaman reservoir yang diperkirakan dari data hasil survei rinci, batasan anggaran, dan teknologi yang ada, tetapi sumur eksplorasi umumnya dibor hingga kedalaman 1000 – 3000 meter.

Menurut Cataldi (1982), tingkat keberhasilan atau success ratio pemboran sumur panas bumi lebih tinggi daripada pemboran minyak. Success ratio dari pemboran sumur panasbumi umumnya 50 – 70%. Ini berarti dari empat sumur eksplorasi yang dibor, ada 2 – 3 sumur yang menghasilkan.

Setelah pemboran selesai, yaitu setelah pemboran mencapai kedalaman yang diinginkan, dilakukan pengujian sumur. Jenis – jenis pengujian sumur yang dilakukan di sumur panasbumi adalah:

  • Uji hilang air (water loss test)

  • Uji permeabilitas total (gross permeability test)

  • Uji panas (heating measurement)

  • Uji produksi (discharge/ output test)

  • Uji transien (transient test)

Pengujian sumur geothermal dilakukan untuk mendapatkan informasi/ data yang lebih persis mengenai :

  1. Jenis dan sifat fluida produksi.

  2. Kedalaman reservoir.

  3. Jenis reservoir.

  4. Temperatur reservoir.

  5. Sifat batuan reservoir.

  6. Laju alir massa fluida, entalpi, dan fraksi uap pada berbagai tekanan kepala sumur.

  7. Kapasitas produksi sumur (dalam MW).

Berdasarkan hasil pemboran dan pengujian sumur harus diambil keputusan apakah perlu dibor beberapa sumur eksplorasi lain, ataukah sumur eksplorasi yang ada telah cukup untuk memberikan informasi mengenai potensi sumber daya. Apabila beberapa sumur eksplorasi mempunyai potensi cukup besar maka perlu dipelajari apakah lapangan tersebut menarik untuk dikembangkan atau tidak.

  1. STUDI KELAYAKAN (FEASIBILITY STUDY)

Studi kelayakan perlu dilakukan apabila ada beberapa sumur eksplorasi menghasilkan fluida panas bumi. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai apakah sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah tersebut secara teknis dan ekonomis menarik untuk diproduksikan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah :

  • Mengevaluasi data geologi, geokimia, geofisika, dan data sumur.

  • Memperbaiki model sistem panas bumi.

  • Menghitung besarnya sumber daya dan cadangan panas bumi (recoverable reserve) serta ppotensi listrik yang dapat dihasilkannya.

  • Mengevaluasi potensi sumur serta memprekirakan kinerjanya.

  • Menganalisa sifat fluida panas bumi dan kandungan non condensable gas serta memperkirakan sifat korosifitas air dan kemungkinan pembentukan scale.

  • Mempelajari apakah ada permintaan energy listrik, untuk apa dan berapa banyak.

  • Mengusukan alternative pengembangan dan kapasitas instalasi pembangkit listrik.

  • Melakukan analisa keekonomian untuk semua alternative yang diusulkan.

  1. PERENCANAAN

Apabila dari hasil studi kelayakan disimpulkan bahwa daerah panas bumi tersebut menarik untuk dikembangkan, baik ditinjau dari aspek teknis maupun ekonomis, maka tahap selanjutnya adalah membuat perencanaan secara detail.

Rencana pengembangan lapangan dan pembangkit listrik mencangkup usulan secara rinci mengenai fasilitas kepala sumur, fasilitas produksi dan injeksi di permukaan, sistem pipa alir dipermukaan, fasilitas pusat pembangkit listrik. Pada tahap ini gambar teknik perlu dibuat secara rinci, mencangkup ukuran pipa alir uap, pipa alir dua fasa, penempatan valve, perangkat pembuang kondensat dan lain-lain.

  1. PEMBORAN SUMUR PRODUKSI, INJEKSI DAN PEMBANGUNAN PUSAT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI

Untuk menjamin tersedia uap sebanyak yang dibutuhkan oleh pembangkit listrik yang dibutuhkan oleh pembangkit listrik diperlukan sejumlah sumur produksi. Selain itu juga diperlukan sumur untuk menginjeksikan kembali air limbah. Pemboran sumur dapat dilakukan secara bersamaan dengan tahap perencanaan pembangunan PLTP.

  1. PRODUKSI UAP, PRODUKSI LISTRIK DAN PERAWATAN

Pada tahap ini PLTP telah beroperasi sehingga kegiatan utama adalah menjaga kelangsungan:

  1. Produksi uap dari sumur-sumur produksi.

  2. Produksi listrik dari PLTP.

  3. Distribusi listrik ke konsumen.

  1. CONTOH KEGIATAN EKSPLORASI DAN PENGEMBANGAN LAPANGAN PANASBUMI

  1. Lapangan Panas Bumi Kamojang

Usaha pencarian panas bumi Indonesia pertama kali dilakukan di daerah kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1962-1929, lima sumur eksplorasi dibor sampai kedalaman 66-128 meter. Sehingga sumur KMJ-3 masih memproduksikan uap panas kering dan dry system. Karena pada saat itu terjadi perang, maka kegiatan pemboran tersebut dihentikan.

Pada tahun 1972, direktorat vulkanologi dan pertamina, dengan bantuan pemerintah Perancis dan New Zeland, melakukan survey pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia, Kamojang mendapat prioritas untuk survei lebih rinci. Pada bulan September 1972 ditandatangani kontrak kerjasama bilateral antara Indonesia dan New Zeland untuk pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut. Survey geologi, geokomia, dan geofisika dilakukan pada daerah tersebut. Area seluas 14 km2 diduga mengandung fluida panas bumi. Lima sumur eksplorasi (KMJ6-10) kemudian dibor dengan kedalaman 535-761 meter dan menghasilkan uap kering dengan temperatur tinggi (2400C). uap tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik Mono Blok sebesar 0.5 MW yang dimulai beroperasi pada 37 november 1978. Pemboren dilakukan lagi sampai desember 1982. 18 buah sumur dibor dengan kedalaman 935-1800 m dan menghasilkan 535 ton uap per jam

Setelah menilai potensi sumur dan kualitas uap, maka disimpulkan bahwa uap air di Kamojang dapat digunakan sebagi pembangkit listrik. Kemudian dibangun PLTP Kamojang sebesar 30 MW dan mulai beroperasi tanggal 7 februari 1983. Lapangan terus dikembangkan. Unit II dan mmasing-masing sebesar 55 MW milai dioperasikan berturut-tirut tanggal 29 juli 1987 dan 13 september 1987, sehingga daya PLTP kaojang menjadi 140.25 MW. Untuk memenuhi kebutuhan listrik,dimanfaatkan 26 dari 47 sumur. Sejak pertengahan tahun 1988, engoperasian Mono Blok 0.25 MW dihentikan. Hingga saat ini jumlah daya terpasang PLTP masih sebesar 140 MW.

  1. Lapangan Panas Bumi Darajat

Lapangan darajat terletak di jawa barat, sekitar 10 km dari lapangan kamojang pengembangan lapangan darajat dimulai pada tahun 1984 dengan ditandatanganinya kontrak operasi bersama antar pemerintah Indonesia dengan Amoseas Ltd. Sejarahnya sebagai berikut :

1972 – 1975 : kegiatan eksplorsi rinci

1976 – 1978 : tiga sumur eksplorasi dibor, menghasilkan uap kering, temperatur reservoir 235-247 0 C

1984 : KOB

1987 – 1988 : pemboran sumur produksi

Sept. 1994 : PLTP darajat (55 MW) dioperasikan

  1. Lapangan Panas Bumi Dieng

Eksplorasi Dimulai tahun 1972, dilanjutkan pemboran eksplorasi pada tahun 1977. Sejarahnya yaitu :

1972 : Kegiatan eksplorasi dimulai

1977 : Sumur eksplorasi pertama di bor

1981 : Tiga sumur dibor menghasilkan fluida tiga fasa, uap-air. Temperaturrservoar 180-320 0 C

14 mei 1984 : Pembangkit listrik mono blok 2 MW dioperasikan

s/d 1995 : Telah dibor 29 sumur

status : KOB dengan Himpurna California energy

Lapangan di dieng ini menghasilkan fluida dua fasa (uap-air). Sampai akhir 1995 telah dibor sebanyak 29 sumur, akan tetapi belum diperoleh gambaran yang baik mengenai sistem panas bumi yang terdapat di daerah ini. Selain itu, sumur-sumur ini berproduksi mengandung H2S dan CO2 yang cukup tinggi, sehingga lapangan di daerah ini belum dikembangkan.

  1. Lapangan Panas Bumi Lahendong

Merupakan lapangan panas bumi yang dikembangkan diluar jawa, 9 sumur yang terdiri dari 7 sumur eksplorasi dan 2 sumur eksploitasi telah dibor. Sumur ini menghasilkan fluida dua fasa (uap-air) bertemperatur tinggi dengan potensi sumur rata-rata 6 MWe. Reservoir mempunyai temperature 280-325oC. Di lapangan ini telah dibangun sebuah pembangkit listrik panas bumi binary geothermal powerplan berkapasitas 2,5 MW. Pada pembangkit ini sudu-sudu turbin pembangkit binary digerakkan oleh uap fluida organik yang dipanasi oleh fluida panas bumi melalui mesin penukar kalor (heat exchanger). Saat ini sedang dibuat rencana pengembangan lapangan lahendong untuk pembangunan pusat listrik panas bumi berkapasitas 20 MW.

  1. RESIKO EKSPLORASI DAN PENGEMBANGAN LAPANGAN PANAS BUMI

  1. Resiko yang berkaitan dengan sumber daya, yaitu resiko yang berkaitan dengan :

  • Kemungkinan tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah yang sedang dieksplorasi (resiko eksplorasi).

  • Kemungkinan besarnya cadangan dan potensi litrik didaerah itu lebih kecil dari yang diperkirakan atau tidak bernilai komersial (resiko eksplorasi).

  • kemungkinan jumlah sumur explorasi yg berhasil lebih sedikit dari yg diharapkan

  • kemungkinan potensi sumur (well output), baik sumur explorasi lebih kecil dari yg diperkirakan semula (resiko eksplorasi)

  • kemungkinan jumlah sumur pengembangan yg berhasil lebih sedikit dari yg diharapkan (resiko pengembangan)

  • kemungkinan biaya eksplorasi, pengembangan lapangan dan pengembangan PLTP lebih mahal dari yg diperkirakan semula

  • kemungkinan terjadinya problem-problem teknis, seperti korosi dan scaling (resiko teknologi) dan problem2 lingkungan

  1. Resiko yang berkaitan dengan kemungkinan penurunan laju produksi / penurunan temperatur lebih cepat dari yang diperkirakan semula (resource degradation)

  2. Resiko yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan pasar dan harga (market access dan price risk)

  3. Resiko pembangunan (construction risk)

  4. Resiko yang berkaitan dengan perubahan management

  5. Resiko yang menyangkut perubahan aspek legal dan kemungkinan perubahan kebijaksanaan pemerintahan (legal dan regulatory risk)

  6. Resiko yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan bunga bank dan laju inflasi (interest dan inflation risk)

  7. Force majeure

Resiko pertama dalam proyek panas bumi (dihadapi pada waktu eksplorasi dan awal pemboran sumur eksplorasi) adalah resiko yang berkaitan dengan kemungkinan tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah yang sedang dieksplorasi atau sumber energi yang ditemukan tidak komersial.

Lembaga keuangan tidak akan meminjamkan dana untuk pengembangan lapangan sebelum hasil pemboran dan pengujian sumur membuktikan bahwa di daerah tersebut terdapat sumber energi panas bumi dengan potensi ekonomi yg menjanjikan.

Resiko masih tetap ada meskipun hasil eksplorasi telah membuktikan bahwa di daerah tersebut terdapat sumber panas bumi. hal ini disebabkan karena masih adanya ketidakpastian mengenai besarnya cadangan (recoverable reserve) potensi listrik dan kemampuan produksi (well output) dr sumur-sumur yang akan dibor di masa yang akan datang.

Lembaga keuangan tdk akan meminjamkan dana untuk membiayai proyek yang ditawarkan sampai membuktikan bahwa di daerah tersebut terdapat cadangan energi panas bumi dengan potensi ekonomi yang menjanjikan.

Apabila di daerah tersbut terdapat lapangan panas bumi yang telah berhasil dikembangkan, biasanya kepastian mengenai adanya cadangan yang memadai cukup ditunjukan oleh adanya satu atau dua sumur yang berhasil memproduksi fluida panas bumi.

Tetapi apabila belum ada lapangan panas bumi yang dikembangkan di daerah tersebut, setidaknya harus sudah terbukti mampu menghasilkan fluida produksi 10-30% dari total fluida produksi yg dibutuhkan oleh PLTP.

Selain itu bank juga membutuhkan bukti bahwa penginjeksian kembali fluida kedalam reservoir (setelah energinya digunakan untuk membangkitkan listrik) tidak menimbulkan permasalahan baik permasalahan teknis (operasional) maupun permasalahan lingkungan.

Meskipun besar cadangan/ potensi listrik, kemampuan produksi sumur dan kapasitas injeksi telah diketahui dengan lebih pasti, tetapi resiko masih tetap ada karena masih ada ketidakpastian mengenai besarnya biaya yang diperlukan dari tahun ke tahun untuk menunjang kegiatan operasional dan menjaga jumlah pasok uap ke PLTP. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap lembaga yg meminjamkan dana karena pengembalian dana yang dipinjamkan tidak sesuai dengan keuntungan yang diproyeksikan.

Resiko yang berkaitan dengan permasalahan teknik seperti terjadinya korosi di dalam sumur dan di dalam pipa akan mengakibatkan berkurangnya keuntungan dan mungkin juga dapat menyebabkan ditolaknya usulan perluasan lapangan untuk meningkatkan kapasitas PLTP.

Resiko lain yang berkaitan dengan sumber daya adalah kemungkinan penurunan laju dan temperatur fluida produksi (enthalpy), kenaikan tekanan injeksi, perubahan kandungan kimia fluida terhadap waktu, yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan atau bahkan hllangnya keuntungan bila penurunan produksi teerlalu cepat. Penurunan kinerja reservoir terhadap waktu sebenarnya, dapat diramalkan dengan cara simulasi reservoir. Hasil peramanalan kinerja reservoir dapat dipercaya apabila model kalibrasi dengan menggunakan data produksi yang cukup lama, tapi jika model hanya dikalibrasi dengan data produksi yang relatif singkat maka hasil peramalan kinerja reservoir masih mengandung tingkat ketidakpastian yang tinggi.

Di beberapa proyek masalah-masalah manajemen dan operasional yang tidak terduga ada yang tidak terpecahkan dengan biaya tinggi. Resiko yang disebabkan oleh hal tersebut relatif lebih sulit dinilai dibandingkan dengan resiko lain, termasuk di dalamnya permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kelalaian manusia dan kekurangcakapan sumber daya manusia dan manajemen.

Berbagai upaya telah dicoba untuk mengurangi resiko yang berkaitan dengan sumber daya, di antaranya :

  1. Kegiatan eksplorasi telah cukup dilakukan sebelum rencana pengembangan lapangan dibuat.

  2. Menentukan kriteria keuntungan yang jelas.

  3. Memilih proyek dengan lebih hati-hati, dengan cara melihat pengalaman pengembang sebelumnya, baik secara teknis maupun secara manajerial.

  4. Mengkaji rencana pengembangan secara hati-hati sebelum menandatangani perjanjian pendanaan.

  5. Memeriksa rencana pengembangan dan menguji rencana operasi berdasarkan skenario yang terjelek.

  6. Mentaati peraturan yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan.

  7. Merancang dan menerapkan program sesuai dengan tujuan dan berdasarkan jadwal waktu pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan.

  8. Melaksanakan simulasi (pemodelan) untuk meramalkan kinerja reservoir dan sumur untuk berbagai skenario pengembangan lapangan.

  9. Mengadakan pertemuan secara teratur untuk mengevaluasi pelaksanaan program untuk mengetahui apakah kegiatan dilaksanakan sesuai dengan rencana atau tidak.